Judul Buku : PRRI PERMESTA: Strategi Membangun Indonesia Tanpa Komunis
Penulis : R.Z.LEIRISSA
Penerbit : PT Pustaka Utama Grafiti
Tahun Terbit : 1994
Kota tempat terbit : Bandung
Jumlah Halaman : 313
Kategori : Sejarah
ISBN : 979-444-118-X
Sebuah Reinterpretasi Sejarah PRRI/Permesta
Buku "PRRI PERMESTA Strategi Membangun Indonesia Tanpa Komunis" karya sejarawan R.Z. Leirissa menantang narasi sejarah yang dominan mengenai gerakan PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia) di Sumatra dan Permesta (Perjuangan Rakyat Semesta) di Sulawesi. Secara tradisional, gerakan-gerakan ini sering digambarkan sebagai pemberontakan yang didasari ambisi regional atau bahkan pengkhianatan terhadap negara. Namun, Leirissa berargumen bahwa pandangan tersebut tidak utuh. Ia menempatkan tesis sentral bahwa PRRI dan Permesta adalah sebuah perjuangan ideologis yang bertujuan untuk menyelamatkan bangsa dari ancaman komunisme.
Menurut Leirissa, para pemimpin dan pendukung gerakan ini bukanlah tokoh-tokoh yang ingin memisahkan diri dari Republik Indonesia. Sebaliknya, mereka adalah para nasionalis yang sangat khawatir akan pergeseran arah politik Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Sukarno dan meningkatnya pengaruh Partai Komunis Indonesia (PKI). Buku ini berupaya memberikan perspektif baru, menjelaskan bahwa perjuangan mereka adalah sebuah strategi untuk membangun Indonesia yang bebas dari komunisme dan kembali ke prinsip-prinsip demokrasi konstitusional yang dianggap sesuai dengan cita-cita kemerdekaan 1945.
Latar Belakang Munculnya Ketidakpuasan Daerah
Leirissa menguraikan berbagai faktor yang mendorong ketidakpuasan di daerah, khususnya di luar Jawa. Salah satu faktor utama adalah ketimpangan ekonomi yang dirasakan oleh para pemimpin militer dan sipil di Sumatra dan Sulawesi. Mereka merasa bahwa kekayaan sumber daya alam yang dihasilkan oleh wilayah mereka—seperti minyak, karet, dan kopra—tidak dialokasikan kembali secara adil untuk pembangunan daerah. Kebijakan sentralisasi ekonomi Jakarta dianggap telah mengabaikan kesejahteraan rakyat di luar pusat.
Selain itu, terdapat pula kekecewaan terhadap stabilitas politik nasional. Setelah Pemilu 1955, situasi politik justru semakin tidak stabil. Leirissa menunjukkan bahwa para pemimpin militer daerah, seperti Kolonel Ahmad Husein dan Letkol Ventje Sumual, mulai membentuk dewan-dewan perjuangan sebagai bentuk protes. Mereka melihat krisis politik dan ekonomi di Jakarta sebagai bukti bahwa pemerintah pusat tidak mampu mengelola negara secara efektif. Leirissa menegaskan bahwa ketidakpuasan ini tidak hanya bersifat regional, melainkan juga berakar pada kekhawatiran mendalam terhadap arah politik nasional secara keseluruhan.
Inti Ideologis: Penolakan terhadap Komunisme dan Demokrasi Terpimpin
Bagian terpenting dari analisis Leirissa adalah penjelasannya mengenai dimensi ideologis PRRI/Permesta. Ia berpendapat bahwa yang paling dikhawatirkan oleh para pemimpin gerakan ini adalah bangkitnya PKI dan kebijakan "Demokrasi Terpimpin" yang diusung oleh Sukarno. Mereka memandang sistem ini sebagai sebuah jalan menuju otoritarianisme yang akan memuluskan jalan bagi PKi untuk menguasai negara.
Dalam pandangan Leirissa, para pemimpin PRRI/Permesta, termasuk tokoh nasionalis seperti Sjafruddin Prawiranegara, meyakini bahwa mereka sedang berjuang untuk menyelamatkan Indonesia dari bahaya komunisme. Deklarasi PRRI pada 15 Februari 1958, bukanlah sebuah upaya untuk mendirikan negara baru, melainkan sebuah manuver politik untuk membentuk "pemerintahan revolusioner" yang sah dan berupaya mengendalikan kembali arah politik nasional. Bagi mereka, perjuangan ini bersifat "semesta" (menyeluruh) karena mereka merasa berjuang untuk seluruh bangsa, bukan hanya untuk daerah mereka sendiri. Mereka ingin mengembalikan kedaulatan kepada rakyat melalui sistem parlementer yang efektif dan memastikan Indonesia tidak jatuh ke dalam cengkeraman PKI.
Penutup: Warisan Perjuangan yang Tak Terlupakan
Meskipun gerakan PRRI/Permesta pada akhirnya gagal secara militer dan berhasil ditumpas oleh operasi militer pemerintah pusat, Leirissa menegaskan bahwa warisan ideologisnya tidak dapat diabaikan. Ia berargumen bahwa ketakutan terhadap komunisme yang menjadi salah satu motif utama gerakan ini pada akhirnya terbukti relevan dan mencapai puncaknya dalam peristiwa G30S/PKI pada tahun 1965. Banyak mantan tokoh PRRI/Permesta yang kemudian bergabung dengan pemerintahan Orde Baru, sebuah rezim yang juga anti-komunis, mengindikasikan bahwa perjuangan ideologis mereka tidak pernah padam.
Secara keseluruhan, buku R.Z. Leirissa ini adalah sebuah karya penting yang mengubah cara pandang kita terhadap PRRI/Permesta. Buku ini berhasil menempatkan gerakan-gerakan ini bukan sebagai "pemberontakan" dalam artian sempit, melainkan sebagai sebuah manifestasi dari perjuangan ideologis yang mendalam antara demokrasi dan otoritarianisme, serta antara nasionalisme dan komunisme, yang pada akhirnya sangat mempengaruhi arah sejarah Indonesia.
Refleksi:
Mempelajari suatu peristiwa sejarah tidak cukup jika hanya dari satu sumber saja. Satu sudut pandang atau versi tertentu saja bisa menghilangkan keobjektifan dalam penilaian kita atas peristiwa itu. Walaupun tentu saja, unsur subyektif pasti ada dan sangat lumrah melekat pada penulis suatu versi sejarah. Dengan banyak membaca berbagai sumber, kita akan menjadi dewasa dan adil dalam berfikir serta melihat suatu peristiwa sejarah karena kita bisa memahami dari berbagai aspek dan sudut pandang dan seringkali hal-hal yang belum pernah terbersit dalam benak kita (karena tentu saja peristiwa bersejarah seringkali jauh terjadi saat kita belum lahir). Membaca buku dan berbagai referensi atas suatu peristiwa sejarah juga bisa menjadikan kita bisa lebih memahami dan tahu secara holistik peristiwa itu. Bahkan bisa jadi melebihi pemahaman si “pelaku” sejarah atau orang-orang yang mengalami langsung peristiwa itu. Hal ini karena mereka yang “mengalami” suatu peristiwa, seringkali terbatasi oleh minimnya sumber informasi pada seputar waktu kejadian, dan juga terbatas oleh ruang dan waktu pada saat itu. Sedangkan kita, generasi kemudian, bisa mempelajari suatu peristiwa dengan lebih leluasa, dari sumber yang melimpah, dan jauh dari rasa ancaman, takut atau keterbatasan-keterbatasan yang bisa jadi dialami oleh “pelaku” sejarah itu sendiri pada masa itu.