Judul Buku : Kejeniusan Abu Bakar Ash Shiddiq
Penulis : Abbas Mahmud Al Aqqad
Penerbit : Pustaka Azzam
Tahun Terbit : 2001
Kota tempat terbit : Jakarta Selatan
Jumlah Halaman : 216
Kategori : Biografi Tokoh
ISBN : tidak tersedia
Buku Kejeniusan Abu Bakar Ash-Shiddiq mengungkap sisi luar biasa dari sosok Abu Bakar, sahabat terdekat Rasulullah SAW dan khalifah pertama umat Islam. Dalam buku ini, kejeniusan Abu Bakar tidak digambarkan dalam bentuk kemampuan akademis semata, melainkan dalam bentuk ketajaman iman, kepekaan hati, dan keteguhan sikap dalam menghadapi situasi-situasi sulit dengan tetap berpijak pada nilai-nilai tauhid dan kebenaran.
Abu Bakar disebut jenius karena memiliki kapasitas kepemimpinan yang sangat matang meskipun tampil dengan penuh kesederhanaan. Ia memiliki intuisi yang tajam dalam membaca kondisi umat. Saat peristiwa Isra' Mi'raj ditentang oleh banyak orang, Abu Bakar langsung membenarkan Rasulullah tanpa ragu. Inilah titik awal ia digelari "Ash-Shiddiq", yang artinya orang yang sangat membenarkan. Keimanan tanpa syarat inilah yang menjadi fondasi kejeniusan spiritualnya.
Ketika Rasulullah wafat dan umat Islam dilanda kebingungan serta hampir terpecah, Abu Bakar tampil tegas. Ia menyampaikan pidato menyejukkan yang menegaskan bahwa siapa pun yang menyembah Muhammad, maka Muhammad telah wafat, tetapi siapa yang menyembah Allah, maka Allah Maha Hidup dan tidak akan pernah mati. Keputusan strategis pun diambilnya, termasuk memerangi kelompok murtad dan nabi palsu, serta menolak kompromi terhadap penolak zakat, demi menjaga kemurnian agama.
Saat menjabat sebagai khalifah, Abu Bakar tetap menjalani hidup sederhana, bergaji dari Baitul Mal demi fokus memimpin dan menghindari ketergantungan duniawi. Suatu hari, istrinya meminta uang untuk membeli manisan. Ia menjelaskan bahwa ia “tidak punya uang,” karena gaji khalifah dianggap hanya untuk kebutuhan pokok. Sang istri mengusulkan menyisihkan sedikit demi sedikit dari gaji setiap hari. Setelah beberapa hari, uang untuk manisan terkumpul. Ketika istrinya menyerahkan uang itu untuk dibelikan manisan, Abu Bakar terkejut dan berkata:
"Wahai istriku, uang ini ternyata cukup banyak. Aku akan serahkan uang ini ke Baitul Mal, dan mulai besok kita usulkan agar gaji khalifah dikurangi sebesar jumlah uang manisan yang dikumpulkan setiap hari, karena kita menerima gaji melebihi kecukupan kita"
Tindakan tersebut mencerminkan ketakwaan Abu Bakar dan komitmennya menjalankan prinsip zuhud, menghindari penggunaan uang publik untuk keinginan pribadi yang tidak penting. Ia memilih mengembalikan dana itu agar lebih amanah dan menjaga kepercayaan umat.
Kejeniusan Abu Bakar juga terlihat dalam langkahnya memerintahkan pengumpulan mushaf Al-Qur’an agar tidak hilang setelah banyak penghafal Qur’an gugur dalam perang. Ia mampu memadukan kelembutan pribadi dengan ketegasan prinsip. Sosoknya bukan hanya bijak, tetapi juga sangat efisien dan cepat dalam mengambil keputusan, selalu berdasarkan tuntunan agama, bukan hawa nafsu atau tekanan politik.
Refleksi:
Membaca kisah Abu Bakar Ash-Shiddiq mengajak saya menundukkan hati. Seorang pemimpin besar, yang meski punya kuasa, memilih hidup sederhana, menghindari kemewahan, dan sangat berhati-hati terhadap amanah. Abu Bakar tidak hanya memimpin dengan kecerdasan, tetapi dengan hati yang bersih dan takut pada Allah. Kejeniusan Abu Bakar adalah bentuk kecemerlangan ruhani, keberanian dalam kebenaran, dan kemampuan luar biasa dalam menjaga kesatuan umat Islam di masa transisi kritis. Beliau adalah contoh sempurna bahwa pemimpin yang jenius adalah mereka yang tidak hanya berpikir cepat dan cerdas, tetapi juga bersandar penuh kepada Allah, memegang teguh nilai, dan berani bertindak walau harus menanggung beban berat. Dalam era penuh pencitraan dan hasrat kepentingan pribadi seperti sekarang, sikap beliau menjadi cermin sekaligus cambuk bagi saya untuk lebih jujur, rendah hati, dan disiplin menahan diri.